Senin, 21 Juli 2014
Cintamu Itu Menyusahkan!
Sayang...
puisiku datang untuk kesekian
tak pedulikan kau gantung atau kau buang
Sayang...
aku datang telah berulang,
tak hiraukan betapa muaknya dirimu pada cintaku
Aku telah datang sayang...
Tapi malah kau tendang aku dengan balasan cinta yang lebih dalam
Aku benci kau sayang, karena cintamu kini menyusahkan,
Sekarang, aku ingin kau akui saja,
jika kau sedang merindu padaku
Tak lebih dan Tak kurang.
Menunggumu Dalam Sunyi
Aku menuggumu...
Sampai air mata ini kering membeku,
sambil kukidungkan cerita tantang sunyi disaat telah habis kesabaranku yang lagi-lagi telanjang bersama sepi,
aku menunggumu...
Dalam mimpi yang tak kunjung datang disaat angan-angan pecah percuma menuju awan,
lalu matahri pun takut melihatku yang kini lumpuh membisu.
Aku menunggumu kekasihku...
Ketika mata nanar ini memperlihatkan aku betapa bahagianya dirimu,
ketika gerombolan awan gugur sambil membawa kabar indah tentangmu yang tak lagi memikul beban.
Ketika kulihat kau tersenyum tulus dipelukkan-Nya.
dan aku akan tetap menunggumu kekasihku...
Menunggumu untuk mengucap perpisahan itu...
Jeritan Anak Ingusan
Ibuku sayang…..
BBM kian melambung,
Parfum murah pun tak terbeli,
akhirnya aroma keringat menusuk-nusuk hidung banyak kawanku,
Ibuku sayang….
bagaimana kalau kau belikan saja aku kambing hitam?
Biar kutumbuhkan lantas berhasil kuuangkan buat bekal hidup masa depan?
Bagaimana?
Bagaimana bila kuputuskan hubungan dengan sekolah karena tak lagi ia berbaik hati pada kita?
Bagaimana?
Bagaimana bila kugadaikan saja recehan Ilmu yang kupunya dengan Nasi buat makan kita sore nanti?
Bagaimana?
Bagaimana bila ku bunuh perutku yang kering keronta?
Ah….
Atau kubunuh saja mereka yang sejak lama coba membunuh kita?
Tekanan Tinggi
Semakin jelas kudengar Kidungan,
Entah itu dari langit,
atau dari kamar tempat menyinggit.
Suaranya memekakkan,
Tapi sejauh ini masih kupikirkan
Memang nyaringnya tak tertahan,
Bahkan mampu jebolkan pintu kamar
Aneh…. !
Aku malah mendengar dan bertahan
Kunikmati itu layaknya pagelaran.
Bingung,
Sejadi-jadinya aku berdiri,
Berlari melakukan sepenuh hati
Oh…
Pantas saja kudengarkan,
Ternyata suaranya berasal dari kesalahanku dan kekesalannya.
Saat Lampu padam
Kawan....
Lampu padam!
tak ada yang bisa terkenang,
kecuali luka rindu yang menganga begitu dalam.
Kawan...
lampu rumahku padam!
tak ada yang bisa terlihat kecuali bayang-bayang wajahnya yang semakin membuat nyeri hatiku dalam kesakitan.
Dan kawan...
Seberapa pun sering Lampu Pemerintah dipadamkan,
begitu kuyakinkan,
ia takkan lagi hadir dalam pelukan
Berdo'a dengan Indah
Tuhan...
Aku menerawang malam,
dimana hanya tinggal aku dan kenangan masa lalu yang dulu susah payah kurangkai penuh keindahan,
Tuhan..
Jika malam ini adalah malam pengharapan,
aku ingin kelak kau jadikan aku bintang, yang letaknya tinggi tak terhalang, lantas kutunjuk siapapun yang pernah menginjakku lalu kubantu mereka dengan tangan keikhlasan,
Tuhanku...
Ini malam ingin kunikmati dengan sesungguhan,
hanya sekedar untuk mengingat bahwa aku pernah lahir dan dibesarkan di tanah yang sering mengecilkanku,
Lamongan, 15 August 2012
Bukan Dirimu
Senyum pun aku tak lagi mampu,
ini baru hanya fase pengenalan tentang secuil penyesalan yang bakal ku kecam bukan?
Ya...
Keangkuhanmu membuatmu bak duri melati,
sedang kutahu benar, tak pernah sekalipun bunga itu nampak berduri.
kau tahu,
Layak itupun dirimu !
Hey...
Kelak, jika kau tak lagi kuat menopang kecongkakanmu,
peluk lalu berikan maaf padaku ya?
Cintaku ini memalukan
Sejak senja itu,
aku tak lagi temukan pengganti senyummu yang beku,
sejak senja itupula hatiku mulai berbicara pada hatimu yang begitu lugu
ah...
Betapa payahnya aku yang terlanjur cinta padamu,
padahal kau buta,
kau tuli,
terlebih kau tak punya hati..
ataukah kau hanya tak pernah peduli?
Aku bosan dalam kejengahan,
muak dalam picisan,
Kala lampu padampun lagi-lagi harus wajahmu yang terbayang,
kala bunga-bunga yang berjatuhan dan perlahan dipeluk tanahpun kau tak jua dalam kenyataan,
bosanku berlebihan sudah...
Aku ingin berlari tanpa tepi,
berteriak tanpa batas,
hingga apa yang benar-benar menyiksaku perlahan membantuku berdiri,
salahku apa hingga harus kau yang membelenggu?
Sayang...
Ku benci kau dengan cintaku yang payah
Alangkah enak jadi Bapak
Bapak..
Anakmu sedang berjuang melawan busung lapar,
berjuang melawan hidup yang kerasnya tak tertahankan,
melawan penindasan yang mendera tak lagi memaklumi kita,
Pak...
Seandainya saja kita dilahirkan dari rahim jutawan,
mungkin hidup tak lagi kesusahan,
berfoya tanpa pandang rendah kebawah,
bersolek harta tanpa menginjak orang sekalipun bisa diinjaknya…
Bapakku sayang..
Mulai kemarin sore, Berilmu tak lagi jadi Hak kurasa?
membuatku setengah mati menata hati demi masa depan yang hingga kini belum jelas terangnya, belum kutemukan penyulutnya
Bapakku sayang..
Kenapa kau antarkan tapi tak pernah kau jemput aku?
Hingga meringis sendiri aku dalam dunia yang kerap mengecilkanku..
Ahh..
Alangkah enak jadi dirimu Pak?!
Kirim aku malaikatmu...!
Kemarin hujan lebat!
Entah kenapa tiba-tiba satu nama kusebut penuh haru..
Kala itu kita menerobos hujan kecil-kecil yang turun malu-malu...
Sungguh lucu!
Kala itu kau pasangkan tubuhmu sebagai penghangatku,
sebagai peneduh hati yang tak lagi bisa kuhindari
kala itu...
Aku menangis!
Kau jelas-jelas mengusap airmataku seraya berbisik merdu
''untuk apa kau merasakan perasaan lain jika aku masih ada disisimu kini?''
aku ingat betul bagaimana caraku tersenyum sambil menahan tangis...
Untukmu!
Sungguh untukmu aku bertahan dari hujan hebat yang membuat jalanku sempoyongan,
tak lagi berkekuatan!
Indahnya kala itu...
Aku begitu ingat!
kala jemarimu merangkul satu demi satu kebekuanku,
memelukku penuh sungguh...
Genap 7 Januari yang lalu aku menunggumu!
Menunggumu dengan cinta yang tak sempat kusia-siakan..
Kini bulan penuh Hujan!
aku berikrar pada Cintamu untuk setia menunggumu... kuputuskan!
Lagi-lagi kuputuskan keputus asaan!
Takkan ada yang berani menyaingi cintamu itu...
_Malang, 2013 (untuk Bapakku yang basah kedinginan diluar sana)
Kerancuan Emansipasi Kartini
Kamu dapat merantaiku, kamu dapat menyiksaku, bahkan kamu dapat menghancurkan tubuh ini, tetapi kamu tidak akan dapat memenjarakan pikiranku.
(Mahatma Gandhi)
Setiap
tanggal 21 April bangsa Indonesia tak pernah luput memperingati hari
kelahiran Raden Ayu kartini, yang lebih dikenal sebagai Raden Adjeng Kartini, yang di Indonesia populer dengan peringatan hari Kartini. Dengan berbagai semangat perlombaan dan acara yang ditujukan
khusus untuk perempuan Indonesia, baik yang masih belia hingga
nenek-nenek sekalipun. Tujuannya sama, yakni sebagai momentual refleksi agar kaum lelaki (diharapkan)
bisa menghargai (lebih) keberadaan kaum perempuan. Sebenarnya masihkah perlu diperingati
emansipasi di era yang sudah “sama-rata” ini?
Kita tentu tak
perlu moncontoh bangsa barat dalam mengartikan emansipasi, Berusaha
menjauhkan kaum ibu dari tugas-tugasnya di rumah seperti yang ditulis
oleh Taylor dalam Enfranchisement of Women dan menganjurkan
menjadi wanita karier. Atau menolak menjadi ibu seperti kata Gayle
Rubin, yang menginginkan penghapusan institusi perkawinan. Dan atau
mengkomersialkan setiap bagian tubuh termasuk rahim seperti yang
disarankan Rosemarie Putnam Tong. Gagasan-gagasan tiga tokoh feminisme
itu nyaris banyak diteriakkan para perempuan saat peringatan hari
emansipasi, mesti hanya sesaat, sehari itu saja, tetapi endapan
keyakinan atas kebenaran ideologi itu tak bisa sesaat dan kelak bisa
membudaya.
Perempuan tak perlu emansipasi kebablasan menjadi
feminisme dengan cara-cara berlebihan meskipun hanya sehari, karena jika
ditilik dari segi asal bahasanya, bahasa latin dari perempuan disebut
dengan istilah Femina, feminime, feminist, yang berasal dari fe-minus. Fei artinya iman, minus artinya kurang. Jadi feminus artinya "kurang iman".
Kesetaraan
gender atau yang biasa digembar-gemborkan sebagai makna dari emansipasi ini, dulunya memang adalah sebuah bentuk pemberontakan kaum perempuan dari
ketertindasan para lelaki. Jaman penjajahan Belanda era itu,
perempuan begitu dipandang rendah bahkan yang paling keji adalah anggapan bahwa kaum perempuan hidup hanya sebagai
alat pemuas nafsu lelaki semata. Itulah yang dimaksud R.A Kartini dalam
salah satu suratnya yang ditulis untuk sahabatnya (Stella Zihandelaar)
di Belanda.
“ Kami akan menggoyah-goyahkan gedung Feodalisme
itu dengan segala tenaga yang ada pada kami, dan andaikan ada satu
potong batu yang jatuh, kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia.
Akan tetapi sebelum itu kami akan mencoba untuk memperoleh kerja sama
meski hanya dari satu pria yang paling baik dan terpelajar…. Kami akan
menghubungi kaum pria kita yang terpelajar dan progresif. Kami akan
memperoleh persahabatan dan bantuan mereka sebab kami bukan berjuang
untuk memusuhi kaum lelaki, melainkan untuk menentang pendapat-pendapat
dan adat yang kolot, yang tidak berguna lagi bagi kita di hari depan…”
(yang kemudian
dibukukan oleh J.H Abendanon dan diberi judul yang dalam bahasa
Indonesia berarti Habis Gelap Terbitlah Terang. Door duisternis Tot
Licht : 1991)
Pertanyaannya kenapa Belanda begitu bangga sehingga ia
tertarik untuk membukukan kumpulan surat-surat seorang Kartini? Bukankah
penjajah tidak akan menurunkan derajat mereka sebagai penjajah?
Kepopuleran Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia
dimungkinkan terjadi akibat adanya dukungan dari pihak Belanda yang
sengaja ingin menciptakan perpecahan serta pertentangan sebagai taktik
untuk melemahkan semangat pemberontakan nasional.
Frontalnya Ahli
sosial dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa Kartini adalah
seorang wanita yang putus asa, yang hanya menulis surat berisi
curhat-curhatan pada salah seorang sahabatnya di Belanda, kemudian
suratnya kebetulan dibukukan oleh seorang berkebangsaan Belanda dan
disebar luaskan di Indonesia, maka diberilah gelar pahlawan emansipasi
perempuan yang sampai sekarang tidak ada yang pernah melihat dimana dan
bagaimana bentuk asli surat Kartini itu. Kembali pada putus asa,
seseorang dikatakan ada dalam keputus asaan ketika ia mau tapi ia tidak
mampu melakukan, tidak real fight atau melawan secara terang-terangan. Seorang Kartini hanya menulis tanpa memerangi penindasan yang ada.
Aneh
sekali jika seorang Susilo Bambang Yudhoyono (misalkan), menulis surat
dan ditujukan untuk salah seorang sahabatnya di luar negeri, lalu ia
berkeluh kesah tentang bagaimana carut-marut negaranya. curhat-curhatan,
tulis-menulis, balas-membalas surat, dan surat-surat itu dikumpulkan
oleh seseorang untuk kemudian dibukukan lalu ia diberi gelar "Pahlawan
Negara".
Sedangkan bagaimana dengan kabar Cut Nyak Dien yang
jelas-jelas ikut berperang mati-matian melawan Belanda pra kemerdekaan?
Atau Martha Christina Tiahahu, Cut Muthia, Herlina Efendi, Putri
Ta’dampali dari istana kerajaan Luwu, Colli Pujie, Emmy Saelan, Sultanah
Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh, Siti Aisyah
We Tenriolle dari Sulawesi Selatan yang mengukir prestasi spektakuler
sebagai the change of social agent? (bahkan siapa mereka pun rasanya tidak
pernah dibacakan guru, di buku manapun di SD saya dulu) alhasil jadilah anak negeri seperti
saya ini. Apatis, Pragmatis! Siapa itu kartini dan kenapa harus kartini yang menjadi
pahlawan emansipasi diantara puluhan bahkan jutaan perempuan negeri ini yang berjuang demi
penindasan? Barangkali anak SD juga perlu banyak-banyak baca buku dan searching E-book tentang kepahlawanan Indonesia, daripada hanya bergantung pada gurunya di sekolah.
________________________Karakter : 5339
Langganan:
Postingan (Atom)